Kasus RPTKA Kemenaker: Uang Korupsi Ternyata Sampai ke Tangan OB
Skandal korupsi di tubuh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) kembali membuat geger publik. Dalam kasus dugaan korupsi terkait pengelolaan dana Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), terungkap bahwa aliran dana haram tidak hanya dinikmati oleh pejabat tinggi, tetapi juga mengalir hingga ke pegawai biasa — bahkan office boy (OB).
Temuan ini membuka babak baru dalam penyidikan, sekaligus memunculkan pertanyaan besar: seberapa sistematis dan masif praktik korupsi yang terjadi?
Skema Korupsi yang Menjalar ke Semua Level
Dalam laporan resmi penegak hukum, disebutkan bahwa dana hasil korupsi dari pengelolaan RPTKA tidak hanya berputar di kalangan elite birokrat, tetapi juga didistribusikan ke sejumlah staf dan tenaga pendukung non-struktural di lingkungan Kemenaker. Beberapa nama OB dan pegawai honorer pun masuk dalam daftar penerima.
Meski jumlah yang mereka terima relatif kecil dibandingkan pejabat utama, fakta bahwa uang tersebut didistribusikan ke jenjang paling bawah menunjukkan adanya pola bagi-bagi uang yang sistematis — dan kemungkinan kuat dilakukan untuk menjaga loyalitas serta membungkam potensi kebocoran informasi.
“Ini bukan hanya soal uang, tapi soal pola. Ketika seluruh elemen dalam institusi ikut terlibat, itu berarti korupsi sudah jadi budaya, bukan sekadar tindakan individu,” ujar seorang pengamat kebijakan publik.
Modus di Balik Dana RPTKA
RPTKA sejatinya adalah mekanisme perizinan untuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing, dan pengelolaannya melibatkan pungutan dana kompensasi yang besar. Dalam praktiknya, dana ini seharusnya masuk ke kas negara sebagai penerimaan resmi. Namun, dalam kasus ini, sebagian dana justru diduga dipotong dan dialirkan ke sejumlah oknum di Kemenaker.
Penyidik mengungkap bahwa ada manipulasi data, penggelembungan nilai, dan penyalahgunaan wewenang dalam proses verifikasi RPTKA. Dana hasil manipulasi tersebut lalu dibagikan ke berbagai lapisan, termasuk pegawai rendahan yang seharusnya tidak punya peran strategis dalam proses tersebut.
Respons Publik dan Seruan Evaluasi
Publik merespons temuan ini dengan rasa geram dan keprihatinan. Di media sosial, banyak warganet mempertanyakan bagaimana mungkin seorang OB bisa “kecipratan” dana korupsi jika tidak ada struktur distribusi yang disengaja.
“Ini bukan sekadar praktik kotor, tapi pembusukan institusi,” tulis salah satu komentar netizen di platform X (dulu Twitter).
Lembaga antikorupsi dan kelompok masyarakat sipil pun menyerukan agar evaluasi total dilakukan terhadap sistem pengelolaan RPTKA dan pengawasan internal di Kemenaker. Mereka juga menuntut agar setiap pihak yang menerima dana, meskipun dalam jumlah kecil, diperiksa secara menyeluruh untuk membuka rantai korupsi yang mungkin masih tersembunyi.
Korupsi Bukan Soal Jumlah, Tapi Mentalitas
Kasus ini menyadarkan kita bahwa korupsi bukan selalu soal miliaran rupiah di tangan pejabat, tetapi juga menyangkut bagaimana sebuah sistem bisa membiarkan penyimpangan mengakar hingga ke level paling bawah. Ketika OB pun terlibat — sengaja atau tidak — maka yang rusak bukan hanya individu, melainkan moral kolektif sebuah institusi.
Pemberantasan korupsi tak cukup hanya menangkap aktor utama. Yang lebih penting adalah memutus kultur transaksional yang membuat setiap orang di sistem merasa “berhak” menerima bagian dari sesuatu yang bukan miliknya.